BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pulau Lombok
1.
Pembagian Administratif
2.
Demografi
3.
Bahasa
Disamping bahasa Indonesia sebagai
bahasa nasional, penduduk pulau Lombok (terutama suku Sasak), menggunakan bahasa Sasak sebagai
bahasa utama dalam percakapan sehari-hari. Di seluruh Lombok sendiri bahasa
Sasak dapat dijumpai dalam empat macam dialek yang berbeda yakni dialek Lombok
utara , tengah, timur laut dan tenggara. Selain itu dengan banyaknya penduduk
suku Bali yang
berdiam di Lombok (sebagian besar berasal dari eks Kerajaan Karangasem), di beberapa tempat terutama
di Lombok Barat dan Kotamadya Mataram dapat
dijumpai perkampungan yang menggunakan bahasa Bali sebagai
bahasa percakapan sehari-hari.
B. Suku Sasak
Suku Sasak adalah suku bangsa yang mendiami pulau Lombok dan menggunakan bahasa Sasak. Sebagian
besar suku Sasak beragama Islam, a
sal nama sasak kemungkinan berasal
dari kata sak-sak yang artinya sampan. Dalam Kitab Negara Kertagama kata Sasak
disebut menjadi satu dengan Pulau Lombok. Yakni Lombok Sasak Mirah Adhi.
Dalam tradisi lisan warga setempat kata sasak dipercaya berasal dari kata
"sa'-saq" yang artinya yang satu. Kemudian Lombok berasal dari
kata Lomboq yang artinya lurus. Maka jika digabung kata Sa'
Saq Lomboq artinya sesuatu yang lurus. banyak juga yang menerjemahkannya
sebagai jalan yang lurus. Lombo Mirah Sasak Adi adalah salah satu kutipan dari
kakawin Nagarakretagama ( Desa warnana ), sebuah kitab yang memuat tentang
kekuasaan dan kepemerintahaan kerajaan Majapahit, gubanan Mpu Prapanca. kata
"lombok" dalam bahasa kawi berarti lurus atao jujur,
"Mirah" berarti permata, "sasak" berarti kenyataan dan
"adi" artinya yang baik atau yang utama. Maka Lombok Mirah Sasak Adi
berarti kejujuran adalah permata kenyataan yang baik atau utama.
1.
Bahasa Sasak
Bahasa Sasak
mempunyai dialek-dialek yang berbeda menurut wilayah, bahkan dialek di
kawasan Lombok Timur kerap
sukar dipahami oleh para penutur Sasak lainnya. Sebagai contoh, kawasan antar
rukun warga (RW) yang hanya berjarak 500 meter sudah memiliki dialek yang
sangat berbeda.
a.
Dialek bahasa Sasak
Bahasa Sasak
biasanya dibagi menjadi lima dialek:
1)
Kuto-Kute (Utara),
2)
Ngeto-Ngete (Timur laut)
3)
Meno-Mene (Tengah)
4)
Ngeno-Ngene (Timur tengah, Barat
tengah)
5)
Meriaq-Mriku (selatan tengah)
Beberapa kosakata bahasa sasak
aku = aku
|
balé = rumah
|
pacu = rajin
|
tokol = uduk
|
nine =
cewek
|
tiang =
saya
|
baruq = baru saja
|
lekaq, ajaq = bohong
|
nganjeng =
berdiri
|
mame = cowok
|
side =
kamu
|
kodeq = kecil
|
tetu =
benar
|
merarik =
nikah
|
kereng =
sarung
|
tampi aseh = terima kasih
|
beleq = besar
|
ore = berantakan
|
dedare = gadis
|
mele = mau
|
kaken = makan
|
tangkong = baju
|
brembe = bagaimana
|
bebalu = janda
|
pire =
berapa
|
kanggo = memakai
|
mbé = mana
|
ceket = pandai
|
papuk nine = nenek
|
mesaq = sendiri
|
iku, tie = itu
|
sai =
siapa
|
ndeq = tidak
|
papuk mame = kakek
|
tindok =
tidur
|
2.
Sistem
Religi
Sebagian
besar penduduk pulau Lombok terutama suku Sasak menganut agama Islam. Agama kedua terbesar yang dianut
di pulau ini adalah agama Hindu, yang dipeluk oleh para penduduk
keturunan Bali yang
berjumlah sekitar 15% dari seluruh populasi di sana. Penganut Kristen, Buddha dan agama lainnya juga dapat
dijumpai, dan terutama dipeluk oleh para pendatang dari berbagai suku dan etnis
yang bermukim di pulau ini. Organisasi keagamaan terbesar di Lombok adalah
Nahdlatul Wathan (NW), organisasi ini juga banyak mendirikan lembaga pendidikan
Islam dengan berbagai level dari tingkat terendah hingga perguruan tinggi.
Di Kabupaten
Lombok Utara, tepatnya di daerah Bayan, terutama di kalangan mereka yang
berusia lanjut, masih dapat dijumpai para penganut aliran Islam Wetu Telu (waktu
tiga). Tidak seperti umumnya penganut ajaran Islam yang melakukan salat lima kali dalam sehari, para
penganut ajaran ini mempraktikan salat wajib hanya pada tiga waktu saja.
Konon hal ini terjadi karena penyebar Islam saat itu mengajarkan Islam secara
bertahap dan karena suatu hal tidak sempat menyempurnakan dakwahnya.
3.
Sistem Teknologi Suku sasak
a.
Rumah Adat
Sebagai
penduduk asli, suku Sasak telah mempunyai sistem budaya sebagaimana tertulis
dalam kitab Nagara Kartha Garna karangan Empu Nala dari
Majapahit. Dalam kitab tersebut, suku Sasak disebut “Lomboq Mirah Sak-Sak
Adhi.” Jika saat kitab tersebut dikarang suku Sasak telah mempunyai
sistem budaya yang mapan, maka kemampuannya untuk tetap eksis sampai saat ini
merupakan salah satu bukti bahwa suku ini mampu menjaga dan melestarikan
tradisinya. Salah satu bentuk dari bukti kebudayaan suku Sasak adalah bentuk
bangunan rumah adatnya.
Rumah adat
dibangun berdasarkan nilai estetika dan local wisdom masyarakat, seperti halnya
rumah tradisional suku Sasak di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Suku Sasak
mengenal beberapa jenis bangunan sebagai tempat tinggal dan juga tempat penyelanggaraan ritual
adat dan ritual keagamaan.
Atap rumah
Sasak terbuat dari jerami dan berdinding anyaman bambu (bedek). Lantainya
dibuat dari tanah liat yang dicampur dengan kotoran kerbau dan abu jerami.
Seluruh bahan bangunan (seperti kayu dan bambu) untuk membuat rumah adat
tersebut didapatkan dari lingkungan sekitar mereka, bahkan untuk menyambung
bagian-bagian kayu tersebut, mereka menggunakan paku yang terbuat dari bambu.
Rumah adat suku Sasak hanya memiliki satu pintu berukuran sempit dan rendah,
dan tidak memiliki jendela.
Orang Sasak
juga selektif dalam menentukan lokasi tempat pendirian rumah. Mereka meyakini
bahwa lokasi yang tidak tepat dapat berakibat kurang baik kepada yang menempatinya.
Misalnya, mereka tidak akan membangun rumah di atas bekas perapian, bekas
tempat pembuangan sempah, bekas sumur, dan pada posisi jalan tusuk sate
atau susur gubug. Selain itu, orang Sasak tidak akan membangun
rumah berlawanan arah dan ukurannya berbeda dengan rumah yang lebih dahulu ada.
Menurut mereka, hal tersebut merupakan perbuatan melawan tabu (maliq-lenget).
Rumah adat
suku Sasak pada bagian atapnya berbentuk seperti gunungan, menukik ke bawah
dengan jarak 1,5 sampai 2 meter dari permukaan tanah (fondasi). Atap dan
bubungannya (bungus) terbuat dari alang-alang, dindingnya dari
anyaman bambu (bedek), hanya mempunyai satu berukuran kecil dan tidak
ada jendelanya. Ruangannya dibagi menjadi ruang induk meliputi bale
luar ruang tidur dan bale dalem berupa tempat menyimpan
harta benda, ruang ibu melahirkan sekaligus ruang disemayamkannya jenazah
sebelum dimakamkan. Ruangan bale dalem juga dilengkapi amben,
dapur, dan sempare (tempat menyimpan makanan dan peralatan
rumah tanggan lainnya) tersebut dari bambu ukuran 2x2 meter persegi. Kemudian
ada sesangkok (ruang tamu) dan pintu masuk dengan sistem sorong (geser).
Di antara bale luar dan bale dalem ada pintu dan
tangga (tiga anak tangga) dan lantainya berupa campuran tanah kotoran
kerbau/kuda, getah, dan abu jerami.
Bangunan rumah dalam komplek perumahan Sasak terdiri
dari beberapa macam, diantaranya adalah Bale Tani, Bale Jajar,
Berugag/Sekepat, Sekenam, Bale Bonter, Bale Beleq Bencingah, dan Bele
Tajuk. Dan nama bangunan tersebut disesuaikan dengan fungsi dari
masing-masing tempat.
1)
Bale Tani
Adalah bangunan rumah untuk tempat tinggal masyarakat Sasak yang berprofesi
sebagai petani
2)
Bale Jajar
Merupakan bangunan rumah tinggal orang Sasak golongan ekonomi menengan ke
atas. Bentuk Bale Jajar hampir sama dengan Bale Tani, yang membedakan adalah
jumlah dalem balenya.
3)
Sekepat
Berfungsi sebagai tempat menerima tamu, karena menurut kebiasaan orang
Sasak, tidak semua orang boleh masuk rumah. Berugaq / sekupat juga digunakan
pemilik rumah yang memiliki gadis untuk menerima pemuda yang datang midang (melamar).
4)
Sekenam
Digunakan sebagai tempat kegiatan belajar mengajar tata krama, penanaman
nilai-nilai budaya dan sebagai tempat pertemuan internal keluarga.
5)
Bale Bonter
Dipergunakan sebagai ternopat pesangkepan / persidangan
adat, seperti: tempat penyelesaian masalah pelanggaran hukum adat, dan
sebagainya. Umumnya bangunan ini dimiliki oleh para perkanggo /Pejabat
Desa, Dusun/kampung.
6)
Bale Beleq Becingah
Adalah salah satu sarana penting bagi sebuah Kerajaan. Bale Beleqdiperuntukkan
sebagai tempat kegiatan besar Kerajaan sehingga sering juga disebut “Becingah”.
7)
Bale Tajuk
Merupakan salah satu sarana pendukung bagi bangunan rumah tinggal yang
memiliki keluarga besar. Tempat ini dipergunakan sebagai tempat pertemuan
keluarga besar dan pelatihan macapat takepan, untuk menambah
wawasan dan tata krama.
8)
Bale Gunung Rate
Bale gunung rate biasanya dibangun oleh masyarakat yang tinggal di
lereng pegunungan, sedangkan bale balaq dibangun dengan tujuan
untuk menghindari banjir, oleh karena itu biasanya berbentuk rumah panggung.
b.
Benda-benda
1)
Sabuk Belo
Sabuk belo adalah sabuk yang panjangnya 25 meter dan merupakan warisan
turun temurun masyarakat Lombok khususnya yang berada di Lenek Daya.
2)
Gendang Beleq
Salah satu alat musik berupa gendang berbentuk bulat dengan ukuran yang
besar. Gendang beleq ini tediri dari 2 jenis yang disebut
gendang mama (yang dimainkan oleh laki-laki) dan gendang nina (yang dimainkan
oleh perempuan). Konon, pada jaman dahulu, musik Gendang Beleq digunakan untuk
mengantar prajurit yang hendak berangkat berperang. Sekarang alat musik ini
sering digunakan untuk mengiringi rombongan pengantin atau menyambut tamu-tamu
kehormatan. Gendang ini digunakan sebagai pembawa dinamika dalam kesenian
Gendang Beleq.
3)
Ende
Sebuah perisai yang terbuat dari kulit lembu atau kerbau. Ende (perisai)
ini dipergunakan dalam kesenian bela diri yang disebutPeriseian.
Periseian adalah kesenian bela diir yang sudah ada sejak jaman
kerajaan-kerajaan di Lombok, awalnya dalah semacam latihan pedang dan perisai
sebelum berangkat ke medan pertempuran.
4)
Peralatan Untuk Bekerja
Masyarakat sasak memiliki alat-alat penunjang untuk mereka bekerja, antara
lain pacul (tambah), bajak (tenggalae), alat untuk meratakan tanah (rejak),
parang, kodong, ancok dan lain sebagainya. Alat-alat tersebut digunakan
masyarakat sasak untuk bekerja, baik sebagai petani, berkebun atau berladang.
5)
Peralatan Untuk Membangun Rumah
Peralatan-peralatan
yang digunakan masyarakat suku sasak untuk membangun rumah adat mereka antara lain
jerami dan alang-alang yang digunakan untuk membuat atap rumah mereka, bedek
(anyaman dari bambu yang digunakan untuk membuat dinding), kayu-kayu penyangga,
getah pohon kayu bantem dan bajur, kotoran kerbau atau kuda sebagai bahan
campuran untuk mengeraskan lantai, abu jerami yang digunakan sebagai campuran
mengeraskan lantai.
4.
Sistem Mata Pecaharian Suku Sasak
Secara
tradisional mata pencaharian terpenting dari sebagian besar orang Sasak adalah
dalam lapangan pertanian. Dalam lapangan pertanian mereka bertanam padi sawah,
padi ladang, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, kedele, sorgum. Selain
itu, mereka mengusahakan kebun kelapa, tembakau, kopi, tebu. Perternakan
merupakan mata pencaharian sambilan. Mereka beternak sapi, kerbau dan unggas.
Mata pencaharian lain adalah usaha kerajinan tangan berupa anyaman,
barang-barang dari rotan, ukir-ukiran, tenunan, barang dari tanah liat, barang
logam, dan lain-lain. Di daerah pantai mereka juga menjadi nelayan. Dalam
rangka mata pencaharian tadi mereka menggunakan teknologi berupa pacul (tambah),
bajak (tenggale), parang, alat untk meratakan tanah (rejak), kodong,
ancok, dan lain-lain.
Menurut data
dari pemerintah Lombok Timur, mata pencaharian penduduk di Kabupaten Lombok
Timur sebagian besar dari sektor pertanian (59,55 %), selebihnya dari sektor
perdagangan, hotel , restauran 11,95 %; jasa-jasa 9,14 %; industri 8,83 % dan
lain-lain 10,53 %. Keadaan ini juga diperlihatkan dari pola penggunaan lahan
yang ada, yaitu permukiman 5,01 %; pertanian (sawah, lahan kering, kebun,
perkebunan) 48 %; hutan 34 %; tanah kosong (tanduns, kritis) 1 %; padang
(alang, rumput dan semak) 9 %; perairan 0,6 %; pertambangan 0,2 % dan lain-lain
penggunaan 5 %.
Salah satu
yang menjadi ciri khas dari suku sasak di Lombok – Nusa Tenggara Barat adalah
para wanita suku Sasak yang pandai menenun. Hasil tenun yang terkenal yaitu
Tenun Ikat yang dihasilkan oleh tangan-tangan terampil wanita suku sasak. Bagi
masyarakat suku sasak, kedewasaan wanita yang siap untuk berkeluarga dapat
dilihat dari seberapa pandai wanita tersebut membuat kain tenun ikat. Ini bisa
dijadikan acuan bahwa wanita suku sasak yang sudah pandai menenun, dia sudah
dianggap menjadi wanita dewasa dan layak berkeluarga. Keahlian menenun juga
akan berdampak baik bagi kehidupan keluarga nantinya. Dengan pandai menenun,
wanita suku sasak dapat membantu perekonomian keluarga yang biasanya para
lelaki suku sasak hanya mendapatkan uang dari hasil berkebun atau berladang.
Kain tenun
yang dihasilkan oleh suku sasak , Lombok – Nusa Tenggara Barat dibuat dengan
cara-cara yang masih sangat tradisional. Alat-alat tradisional yang mereka
pakai masih tetap sama seperti apa yang digunakan oleh nenek moyang mereka.
Bahan-bahan yang digunakam juga berasal dari alam.
Mereka
menggunakan benang-benang yang berasal dari serat-serat tumbuhan seperti serat
nanas, serat pisang, kapas dan dari kulit kayu. Warna-warni dari kain berasal
dari warna alami tanpa ada campuran bahan kimia, namun dengan itu membuat
kualitas kain tenun ikat yang dihasilkan masyarakat suku sasak memiliki
kualitas yang buruk, justru karena keunikan dan kekhasannya yang berasal dari
alam, kain tenun hasil masyarakat suku sasak bernilai kualitas dan harga
tinggi.
Pada awalnya, kerajinan tenun ikat digunakan untuk
busana pesta, busana pemimpin adat, maupun busana kaum bangsawan. Namun seiring
perkembangan jaman, kedudukan tenun ikat ini meluas menjadi salah satu komoditi
dari suku Sasak. Dan selain sebagai mata pencaharian sehari-hari, kegiatan
menenun ini juga mereka jadikan sebagai daya tarik bagi wisatawan yang
berkunjung, baik wisatawan local maupun wisatawan mancanegara sangat meminati
kain tenun ikat buatan masyarakat suku sasak ini.
5.
Sistem Kemasyarakatan Suku Sasak
a.
Pelapisan Sosial
Di daerah lombok secara umum
terdapat 3 Macam lapisan sosial masyarakat :
1) Golongan Ningrat ; Golongan
ini dapat diketahui dari sebutan kebangsawanannya. Sebutan keningratan ini
merupakan nama depan dari seseorang dari golongan ini. Nama depan keningratan
ini adalah ” lalu ” untuk orang-orang ningrat pria yang belum menikah.
Sedangkan apabila merka telah menikah maka nama keningratannya adalah ” mamiq
“. Untuk wanita ningrat nama depannya adalah ” lale”, bagi mereka yang belum
menikah, sedangkan yang telah menikah disebut ” mamiq lale”.
2) Golongan Pruangse ;
kriteria khusus yang dimiliki oleh golongan ini adalah sebutan “ bape “,
untuk kaum laki-laki pruangse yang telah menikah. Sedangkan untuk kaum pruangse
yang belum menikah tak memiliki sebutan lain kecuali nama kecil mereka,
Misalnya seorang dari golongan ini lahir dengan nama si ” A ” maka ayah dari
golongan pruangse ini disebut/dipanggil ” Bape A “, sedangkan ibunya dipanggil
” Inaq A “. Disinilah perbedaan golongan ningrat dan pruangse.
3) Golongan Bulu Ketujur ;
Golongan ini adalah masyarakat biasa yang konon dahulu adalah hulubalang sang
raja yang pernah berkuasa di Lombok. Kriteria khusus golongan ini adalah
sebutan ” amaq ” bagi kaum laki-laki yang telah menikah, sedangkan perempuan
adalah ”inaq “.
Di Lombok,
nama kecil akan hilang atau tidak dipakai sebagai nama panggilan kalau mereka
telah berketurunan. Nama mereka selanjutnya adalah tergantung pada anak
sulungnya mereka. Seperti contoh di atas untuk lebih jelasnya contoh lainnya
adalah bila si B lahir sebagai cucu, maka mamiq A dan Inaq A akan dipanggil
Papuk B. panggilan ini berlaku untuk golongan Pruangse dan Bulu Ketujur. Meraka
dari golongan Ningrat Mamiq A dan Mamiq lale A akan dipanggil Niniq A.
b.
Sistem Kekerabatan
Sistem
kekerabatan di Tolot-tolot khususnya dan lombok selatan pada umumnya adalah
berdasarkan prinsip Bilateral yaitu menghitung hubungan kekerabatan melalui
pria dan wanita. Kelompok terkecil adalah keluarga batih yang terdiri dari
Ayah, Ibu, dan Anak. Pada masyarakat lombok selatan ada beberapa istilah antara
lain :
1) Inaq adalah panggilan ego
kepada ibu.
2) Amaq adalah panggilan ego
kepada bapak.
3) Ari adalah panggilan ego
kepada adik perempuan atau adik laki-laki.
4) Kakak adalah panggilan ego
kepada saudara sulung laki-laki ataupun perempuan.
5) Oaq adalah panggilan ego
kepada kakak perempuan atau laki-laki dari ibu dan ayah.
6) Saiq adalah panggilan ego
kepada adik perempuan atau laki-laki dari ayah atau ibu.
7) Tuaq adalah panggilan ego
kepada adik laki-laki dari ayah atau ibi.
8) Pisak adalah panggilan ego
kepada anak dari adik/kakak dari ibu.
9) Pusak adalah panggilan ego
kepada anak dari adik/kakak dari ayah.
Untuk masyarakat kaum kerabat di tolot-tolot pada khususnya dan lombok
selatan pada umumnya mencakup 10 generasi ke bawah dan 10 generasi ke
atas tersebut sebagai berikut :
Generasi ke
Bawah
|
Generasi
ke Atas
|
1.
Inaq/amaq
|
1.
Anak
|
2.
Papuk
|
2.
Bai
|
3.
Balok
|
3.
Balok
|
4.
Tate
|
4.
Tate
|
5.
Toker
|
5.
Toker
|
6.
Keletuk
|
6.
Keletuk
|
7.
Keletak
|
7.
Keletak
|
8.
Embik
|
8.
Embik
|
9.
Mbak
|
9.
Ebak
|
10. Gantung Siwur
|
10. Gantung Siwur
|
(Sumber : Daliem, Mimbarman, ” Lombok Selatan
Dalam Pelukan Adat Istiadat Sasak” 1981-1982)
c.
Prosedur
dan Prinsip-Prinsip Penyelesaian Konflik
Dalam menyelesaikan konflik melalui sedikitnya 3
fase, yaitu :
1) Pihak yang
dihadiri bersengketa mengemukakan masalahnya masing-masing dengan dihadiri pula
dengan saksi-saksi yang meringankan atau yang memberatkan.
2) kemudian
masing-masing anggota kerame memberikan fatwa berdasarkan hukum adat dan fatwa
agama kepada yang bersangketa agar bersedia berdamai atau menaati hukum adat
yang berlaku.
3) Setelah
proses pemeriksaan (musyawarah) selesai, maka akan diakhiri dengan pemberian
keputusan, yaitu keputusan berupa perdamaian (soloh) atau penjatuhan
hukuman.Kesepakatan damai (soloh) tersebut sangat mengikat baik individu yang
bersengketa mauoun terhadap masyarakat dan oleh karena itu acapkali keputusan
“Soloh “ mempunyai kekuatan hukum
yang sangat kuat karena acap kali dijadikan landasan hukum oleh pengadilan.
Keputusan lain yang mungkin dijatuhkan oleh “Kerama” adalah dengan pemberian
hukuman berupa denda dengan mempergunakan standar uang bolong (kepeng) dan
hewan atau dedosan. Sedangkan bagi masyarakat yang melakukan kesalahan
besar seperti Ngeletuhing Jagad-meresahkan dunia, misalnya perzinaan,
penduruan, dan lain-lain, maka hukumannya berupa diasingkan dari masyarakat
(eteh selon).Pemeriksaan atau persidangan kasus-kasus oleh Krama Desa dilakukan
secara terbuka dimana seluruh anggota kerama dan masyarakat boleh menyaksikan
baik tua maupun muda, pria maupun wanita, dan benar-benar dilaksanakan secara kekeluargaan,
suasana silaturrahmi, tidak memihak, dan cepat serta sederhana.
Faktor yang mempengaruhi masyarakat menyelesaikan
konfliknya kepada pranata kultural, yaitu :
1. Penghormatan
kepada sistem nilai hukum adat dan nilai-nilai agama yang meresap di sanubari
masyarakat Sasak yang dikenal sebagai masyarakat yang patuh dan taat
beribadah dan pulaunya dijuluki “Pulau Seribu Masjid”
2. Adanya
penghormatan yang tulus dan tinggi kepada pemuka agama (Tuan Guru). Pemuka adat
dan masyarakat (Penghulu Desa) yang akan mampu menyelesaikan konfliknya secara
damai dan jujur.
3. Untuk
menjaga hubungan silaturrahmi dan menjaga hubungan agar tidak terputus.
4. Menghindari
adanya istilah kalah dan menang dalam perkara yang dapat merugikan kedua belah
pihak.
d. Prosedur dan
Tata cara Perkawinan Suku Sasak
Pada saat resepsi perkawinan, dimana perempuan apabila
mereka mau dinikahkan oleh seorang lelaki maka yang perempuan harus dilarikan
dulu kerumah keluarganya dari pihak laki laki, ini yang dikenal dengan sebutan meracik atau selarian.
Caranya cukup sederhana, gadis pujaan itu tidak perlu
memberitahukan kepada kedua orangtuanya. Bila ingin menikah, gadis itu dibawa.
Mencuri gadis dengan melarikan dari rumah menjadi prosesi pernikahan yang lebih
terhormat dibandingkan meminta kepada orang tuanya. Ada rasa ksatria yang
tertanam jika proses ini dilalui. Namun jangan lupa aturan, mencuri gadis dan
melarikannya biasanya dilakukan dengan membawa beberapa orang kerabat atau
teman. Selain sebagai saksi kerabat yang dibawa untuk mencuri gadis itu
sekalian sebagai pengiring dalam prosesi itu. Dan gadis itu tidak boleh dibawa
langsung ke rumah lelaki, harus dititipkan ke kerabat laki-laki.
Setelah sehari menginap pihak kerabat laki-laki
mengirim utusan ke pihak keluarga perempuan sebagai pemberitahuan bahwa anak
gadisnya dicuri dan kini berada di satu tempat tetapi tempat menyembunyikan
gadis itu dirahasiakan, tidak boleh diketahui keluarga perempuan. 'Nyelabar',
istilah bahasa setempat untuk pemberitahuan itu, dan itu dilakukan oleh kerabat
pihak lelaki tetapi orangtua pihak lelaki tidak diperbolehkan ikut.
Rombongan 'nyelabar' terdiri lebih dari 5 orang dan
wajib mengenakan berpakaian adat. Rombongan tidak boleh langsung datang
kekeluarga perempuan. Rombongan terlebih dahulu meminta izin pada Kliang atau
tetua adat setempat, sekedar rasa penghormatan kepada kliang, datang pun ada
aturan rombongan tidak diperkenankan masuk ke rumah pihak gadis. Mereka duduk
bersila dihalaman depan, satu utusan dari rombongan itu yang nantinya sebagai
juru bicara menyampaikan pemberitahuan.
Setelah selesai proses pernikahan, pihak keluarga
lelaki akan mengadakan pesta perkawinan ataupun di sebagian tempat kedua belah pihak
akan megadakan pesta kemudian di pernhujung hari pesta pihak keluarga lelaki
akan membawa rombogan sebanyak mungkin dengan berpakaian adat dan diiringi
musik tradisional untuk mengiringi kedua mempelai bentandang ke rumah keluarga
perempuan. dan setelah segalanya selesai pihak kelurga lelaki sekali lagi akan
bertandang kerumah penganti perempuan sekali lagi untuk berkenal-kenalan dengan
anggota keluarga perempuan. Maka sempurnalah adat perkawinannya.
6. Sistem
Pengetahuan Suku Sasak
Suku Sasak mempunyai pengetahuan yang didapatkan turun temurun dari nenek
moyang mereka tentang pembuatan lantai dari rumah mereka khususnya rumah adat
mereka atau dengan kata lain sistem pengetahuan pada Suku Sasak erat kaitanya
dengan pengetahuan yang berkaitan dengan adat dan kebudayaan suku Sasak.
Seperti contoh dalam lantai rumah mereka dibuat dari tanah liat yang dicampur
dengan kotoran kerbau dan jerami. Campuran tanah liat dan kotoran kerbau
membuat lantai tanah mengeras, sekeras semen. Kemudian contoh lain mengenai
pembuatan rumah adat suku sasak yang tempat dan waktunya itu tidak dilaksakan
dengan sembarangan tetapi harus berdasarkan adat dat kebudayaan melalui
pengetahuan yang telah diwariskan oleh nenek moyang mereka.
7. Sistem
Kesenian Suku Sasak
Masyarakat
Suku Sasak merupakan salah satu dari sekian ribu suku yang tak kalah kreatif,
banyak hasil-hasil karya suku tersebut selain dari sisi kerajinan maupun yang
bernilai kesenian yang bersifat menghibur.
a.
Tari
gandrung merupakan
tari pergaulan muda mudi dan bersifat hiburan, struktur penyajiannya terbagi
menjadi empat bagian:
1)
Bapangan mengambarkan seorang gadis
yang ingin menarik perhatian lawan jenisnya dengan memperlihatkan kemampuannya
sendiri.
2) Tangis
penggambaran perasaan rindu pada seorang untuk diajak berkomunikasi,
diungkapkan lewat lirik lagu. Penepekan, memilih seorang yang disenangi untuk
diajak menari, calon penari yang terpilih dinyatakan dengan sentuhan kipas oleh
penari gandrung.
3) Pengibingan,
yaitu menari bersama antara penari dengan penonton yang ditepek atau terkena
kipas. Penari memakai busana kain panjang baju , kemben, gelung, ampok-ampok,
bapang dan membawa property kipas, pada bagian gelung dilengkapi dengan semacam
senjat dari bambu yang diruncingkan, gunanya untuk melindungi dari
gangguanpasangan menari yang nakal.
b. Gendang beleq Merupakan alat musik
tabuh yang berbentuk bulat panjang, biasanya digunakan pada saat tradisi
nyongkolan, gendang belek juga dilengkapi dengan gon, terumpaq dan seruling.
c. Peresean
Presean adalah salah salah satu kekayaan budaya bumi gogo rancah (lombok).
Acara ini berupa pertarungan dua lelaki Sasak bersenjatakan tongkat rotan
(penjalin) serta berperisai kulit kerbau tebal dan keras (ende).Petarung biasa
disebut pepadu. Presean bermula dari luapan emosi para prajurit jaman kerajaan
taun jebot (dahulu kala) sehabis mengalahkan lawan di medan perang. Acara
tarung presean ini juga diadakan untuk menguji keberanian/nyali lelaki sasak
yang wajib jantan dan heroik saat itu.
Uniknya dari pertarungan presean, pesertanya tidak
pernah dipersiapkan secara khusus.Pepadu atau petarung dicomot (diambil) dari
penonton yang mau adu nyali dan ketangguhan mempermainkan tongkat rotan dan
perisai yang disediakan.Penonton/calon peserta bisa mengajukan diri atau
dipilih oleh wasit pinggir (pakembar sedi). Setelah mendapat lawan, pertarungan akan dimulai dan dimpimpin oleh wasit
tengah (pekembar).
Duel dua pepadu diadakan dalam lima ronde, pemenangnya
ditentukan oleh hasil nilai yang diperoleh atau salah satu pepadu bocor kepala,
bedarah-darah, atau kibar bendera putih.
Uniknya, di
sela-sela pertarungan para pepadu plus para wasit harus menari jika musik
dimainkan.Mungkin maksudnya untuk melepas ketegangan selama jalannya
pertandingan. Tarian rotan dari Lombok
ini sudah dikenal masyarakat Sasak secara turun temurun. Awalnya
merupakan sebuah bagian dari upacara adat yang menjadi ritual untuk
memohon hujan ketika kemarau panjang. Sebuah tradisi-yang dalam perkembangan
kemudian-sekaligus berfungsi sebagai hiburan yang banyak diminati.Sebagai salah
satu upaya melestarikan budaya daerah, Presean Lombok pun mulai sering
dilombakan. Pertandingan diakhir dengan salam dan pelukan persahabatan antar
petarung. Tanda tiada dendam dan semua hanyalah permainan.
8.
Problematika Kebudayaan Suku Sasak
Nilai
budaya yang berkaitan dengan hubungan antar manusia, terdapat tiga
kemungkinan, yaitu: nilai budaya yang lebih mementingkan hubungan vertikal
antara manusia dengan sesamanya. Nilai budaya seperti ini dicirikan oleh
kecenderungan masyarakat berpedoman pada tokoh-tokoh masyarakat,
orang-orang yang dianggap senior atau orangorang yang menjadi atasannya.
Berikutnya adalah nilai budaya yang lebih mementingkan hubungan horizontal
antara manusia dengan sesamanya; dimana manusia merasa sangat tergantung kepada
sesamanya, sehingga senantiasa menjaga hubungan baik dengan sesamanya. Nilai
budaya seperti ini dicirikan oleh menonjolnya aktivitas masyarakat dalam
kegiatan gotong royong dan tolong menolong. Selain itu, ada nilai budaya yang
tidak membenarkan bahwa manusia hidup harus tergantung pada orang lain.
Masyarakat dengan nilai budaya seperti ini sangat individualis, mandiri, dan
senantiasa berusaha mencapai tujuannya dengan sedikit mungkin melibatkan orang
lain.
a.
Pengaruh Pariwisata Terhadap Budaya
Lokal
Pariwisata adalah perjalanan dari
satu tempat ke tempat lain, bersifat sementara, dilakukan perorangan maupun
kelompok, sebagai usaha mencari keseimbangan atau keserasian dan kebahagiaan
dengan lingkungan hidup dalam dimensi sosial, budaya, alam, dan ilmu
(Spillane,1987:21).
Perkembangan pariwisata berpengaruh
positif dan signifikan terhadap budaya lokal, dimana terlihat pada pariwisata
dapat memacu motivasi kreativitas untuk berkarya lebih inovatif dan lebih variatif
sesuai dengan kebutuhan pariwisata dan meningkatnya persaingan bisnis. Dapat
mengetahui budaya dari berbagai negara terutama melalui berbagai pesanan karya
seni selain yang di hasilkan oleh masyarakat lokal. Dan berpengaruh negatif,
yang terlihat pada masyarakat yang dulunya hidup sederhana menjadi pola hidup
konsumtif, di mana masyarakatnya hampir semua menerapkan pola hidup mewah dan
pola hidup instan dalam mengejar prestise, dan berkurangnya sifat kebersamaan
karena adanya pengaruh budaya barat terutama tuntutan dari pengerjaan kerajinan
modern yang lebih bersifat individual tidak seperti dalam pengerjaan kerajinan
tradisional yang lebih bersifat komunal atau secara berkelompok.
Pada
masyarakat lokal Suku Sasak nilai budaya yang berkembang sebelum masuk
pariwisata, cenderung lebih mementingkan hubungan horizontal, dibandingkan
hubungan vertikal atau individual. Dalam banyak hal memang masyarakat masih
banyak tergantung pada orang-orang yang ditokohkan, seperti tokoh agama yang
disebut ”Tuan Guru” atau ”Ustaz” atau tokoh-tokoh adat yang disebut
”keliang” atau tokoh-tokoh formal, seperti Kepala Desa, Camat atau
Bupati. Namun ketergantungan masyarakat terhadap tokoh-tokoh masyarakat
tersebut, masih dalam lingkup terbatas, yaitu pada bidang kegiatan yang
dilakukan oleh tokoh-tokoh masyarakat itu.
Dalam
kehidupan sehari-hari; masyarakat lebih mementingkan hubungan horizontal yang
terlihat dari aktivitas gotong royong dan tolong menolong yang dilakukan. Untuk
mendapatkan gambaran tentang aktivitas gotong royong dan tolong menolong,
sebelum dan setelah berkembang pariwisata, dapat disimak dari penuturan Djohan
Bachry (46 tahun, Dosen Fakultas Pertanian yang pernah melakukan penelitian di
Kawasan Senggigi) berikut : ”menyangkut solidaritas sosial atau saling tolong
menolong antara sesama warga tidak banyak mengalami perubahan antara
sebelum dengan setelah berkembang pariwista. Misalnya jika salah seorang warga
mengalami kematian, maka solidaritas sosial muncul secara spontan. Hal ini
ditunjukkan melalui kepedulian untuk turut terlibat dalam proses penanganan
masalah yang berhubungan dengan kematian tersebut. Bila warga mendengar
kematian salah seorang warga, maka sudah menjadi tradisi ibu-ibu akan pergi
melayat ke rumah ”ahlul musibah” dengan membawa segantang beras yang dalam
istilah lokal disebut ”belangar”. Sementara kaum pria dewasa akan melibatkan
diri dalam pembuatan keranda jenazah yang disebut ”korong batang”, kemudian
memandikan jenazah, mensholatkan, dan mengantarnya ke pemakaman. Solidaritas
sosial terus berlanjut sampai sembilan malam, yaitu melakukan acara tahlilan di
rumah duka. Solidaritas sosial seperti ini masih berlanjut sampai sekarang. Hal
yang mengalami pergeseran atau perubahan yang cukup signifikan adalah pada cara
menyikapi kematian tersebut. Dulu sebelum masuk pariwisata, kalau ada warga
yang meninggal dunia, maka warga sekampung tidak dibenarkan bahkan ditabukan
untuk bekerja ke luar kampung. Tapi sekarang, hal tersebut tidak terlalu
mengikat; yang masih mengikat adalah kewajiban untuk turut dalam acara
pemakaman dan tahlilan selama sembilan malam”.
Akibat lain dari berkembangnya
pariwisata terhadap suku sasak adalah semakin melebarnya arus modernisasi yang
membawa pada rusaknya moral generasi muda suku sasak karena melalui modernisasi
ini sudah tampak disuku sasak dengan adanya pembangunan hotel-hotel dan
kafe-kafe, bahkan sekarang pulau Lombok pun dikenal sebagai “Party
Island” oleh para turis mancanegara. Pesta musik di tepi pantai,
lampu-lampu disko dengan musik gemerlap pun menghiasi setiap hotel,Bar dan
pantai-pantai setiap malamnya. Artinya sedikit demi sedikit Budaya hidup barat
mulai menggusur tatanan hidup masyarakat khususnya generasi muda. Inilah pulau
Lombok, pulau seribu mesjid. Apa yang daerah ini pertahankan dan banggakan
setelah alam, budaya, agama, dan manusia telah tergadai oleh keadaan itu, belum
lagi ketidak pedulian pemerintah terhadap keberlangsungan tradisi lokal Suku
Sasak yang membuat semakin terkikisnya budaya Suku Sasak ini.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Budaya adalah
suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok
orang (masyarakat) dan diwariskan dari generasi ke generasi. Sedangkan,
kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
Etnis Sasak
merupakan etnis mayoritas penghuni pulau Lombok, suku sasak merupakan etnis
utama meliputi hampir 95% penduduk seluruhnya. Pemeluk agama islam yang taat,
dengan bahsa sasak sebagai bahasa utama dalam berkomonikasi kehidupan
sehari-hari. Bermata pencaharian sebagai petani.
Di daerah
lombok secara umum terdapat 3 Macam lapisan sosial masyarakat, yaitu Golongan Ningrat, Golongan Pruangse, dan Golongan Bulu Ketujur ( Masyarakat
Biasa ).
Adat
istiadat suku sasak dapat di saksikan pada saat resepsi perkawinan, yang
dikenal dengan sebutan "Merarik" atau "Selarian".
Budaya
Presean atau bertarung dengan rotan salah satu kekayaan budaya gumi (bumi) gogo
rancah (lombok). Berupa pertarungan dua lelaki Sasak bersenjatakan
tongkat rotan (penjalin) serta berperisai kulit kerbau tebal dan keras
(ende).Petarung disebut pepadu.Acara tarung presean ini juga diadakan untuk
menguji keberanian/nyali lelaki sasak yang wajib jantan dan heroik saat itu.
Awalnya merupakan sebuah bagian dari upacara adat yang menjadi ritual
untuk memohon hujan ketika kemarau panjang.
B.
Saran
Kita selaku maha siswa hendaknya dapat lebih gencar
lagi dalam pembuatan karya ilmiah atau penelitian tentang kebudayaan-kebudayaan
yang ada di Indonesia, karena hal tersebut merupakan salah satu dari sekian
banyak upaya untuk melestarikan budaya yang ada di daratan Indonesia tercinta
ini, karena jangan sampai budaya yang kita miliki diakui oleh pihak lainnya
dengan alasan akibat kelalaian dan sikap ketidak pedulian kita terhadap budaya
sendiri.
DAFTAR
PUSTAKA
Proyek Penelitian dan
Pencatatan Kebudayaan Daerah (1978) Adat Istiadan Daerah Nusa Tenggara Barat, Jakarta: Balai Pustaka